Penampilannya terlihat nyentrik dan energetik. Bicaranya cepat, terkadang tak begitu jelas; mungkin karena letupan-letupan ide di kepalanya terlalu deras untuk diungkapkan.
Hokky Situngkir memang tidak seperti profil peneliti kebanyakan. Di usianya yang masih cukup muda, ratusan makalah ilmiah telah ia telurkan. Hasil penelitiannya telah mendapat pengakuan di berbagai jurnal dan konferensi internasional.
Tak kurang dari lima penghargaan prestisius ia sabet dalam dua tahun terakhir. Yang terakhir ia diganjar Penghargaan Achmad Bakrie Award untuk kategori 'Hadiah Khusus untuk Ilmuwan Muda Berprestasi'.
Ketika dijumpai di kantornya di bilangan Sarijadi Bandung, pertengahan Agustus lalu, Hokky kembali mengenakan "pakaian kebangsaannya": batik coklat muda dibalut jaket biru berlogo institusi penelitian yang ia komandani: Bandung Fe Institute.
Kepada VIVAnews, pria 33 tahun itu bercerita berbagai macam hal, tentang batik, candi, fraktal, korupsi, hingga masalah Bank Century. Berikut petikannya.
Profesor Yohanes Surya menggelari Anda sebagai 'Bapak Kompleksitas Indonesia'. Sebenarnya apa itu kompleksitas?
Ah Itu bisa-bisanya Pak Yohanes saja. saya belum punya istri belum punya anak dibilang "bapak" ... hahaha. Kompleksitas adalah sebuah metode, cara melihat yang berbeda. Selama ini, dari kecil, sejak SD, SMP, SMA, kita ditumpuk berbagai ilmu, kemudian baru disuruh memilih jurusan. Dan setelah itu baru disuruh membuat tugas akhir, thesis, skripsi, di mana Kita disuruh mencari masalah, dari tumpukan-tumpukan ilmu tadi.
Nah, complexity itu kebalikan daripada proses itu. Ada permasalahan, kemudian kita definisikan, kemudian dicari, apa ilmu yang terkait dengan permasalahan itu.
Misalnya ada masalah BBM atau Bantuan Langsung Tunai (BLT). Lalu kita cari, apa bidang-bidang yang terkait dengan masalah itu. Tak cuma terkait masalah ekonomi, dia juga terkait dengan budaya, geografi, demografi. Jadi sebenarnya social complexity ini mengubah cara pandang saja.
Karena selama ini sistem konvensional terlanjur seperti itu, ya solusinya adalah interdisplineritas. Sejak, tahun 1980-an ketika muncul Teori Chaos, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa tidak mungkin suatu masalah itu memiliki sebuah "ultimate solution". Sebab, semua elemen di alam ini saling berinterrelasi. Saling berkaitan. Jadi sekarang bukan saatnya lagi ada arogansi-arogansi domain ilmu.
Jadi untuk memecahkan masalah BLT tadi, kita harus melibatkan ekonom, sosiolog, demograf, rohaniwan, budayawan. Sebenarnya sesederhana itu, tidak rumit.
Dengan metode kompleksitas, berarti matematika bisa digunakan untuk menganalisa berbagai macam masalah?
Bisa dibilang begitu. Untuk diketahui, bahwa matematika saat ini sudah tidak bisa dibilang lagi sebagai ilmu pasti. Bukan lagi sebagai ilmu eksakta, melainkan sebagai ilmu tentang pola dan probabilitas atau peluang. Jadi, tidak ada yang pasti. Demikian pula dengan fisika.
Sekarang matematika bisa merambah kepada kajian-kajian sosial yang penuh dengan ketidakpastian. Kompleksitas itu definisinya adalah suatu sistem yang sulit diurai karena elemen penyusunnya saling bertali-talian. Namun, sekarang ini sudah ada diferensiasi matematikanya.
Kapan awalnya peneliti menerapkan diferensiasi matematika ke berbagai bidang dan mengembangkan sistem kompleksitas ini?
Yang pertama-tama melakukannya adalah alumni-alumni pembuat bom atom itu, yang tergabung dalam Manhattan Project pemerintah AS. Mereka terdiri dari peneliti interdisipliner. Setelah bom nuklir meletus di Jepang, kemudian mereka membentuk Santa Fe Institute. Ini adalah pusat studi kompleksitas yang pertama. Makanya, kami juga mengambil nama Bandung Fe. Awalnya kami cuma membuat parodi, tapi kemudian malah jadi serius.
Bagaimana ceritanya sehingga Anda bisa mengklaim bahwa Candi Borobudur itu merupakan bangunan yang mengadopsi bentuk fraktal (pola geometris yang dapat dibagi-bagi lagi)?
Borobudur adalah megastruktur. Besarnya minta ampun, tapi memiliki kedetilan. Untuk membangun bangunan seperti itu, tentu memerlukan disiplin ilmu tertentu, seperti arsitektur, struktur (teknik sipil). Tapi kedua bidang itu membutuhkan apa yang tidak dimiliki oleh bangsa kita saat itu, yakni ukuran standar panjang, karena saat itu tidak dikenal meter standar, atau semacam hasta standar.
Selain itu, dibutuhkan juga eksperimaen-eksperimen kecil untuk menguji struktur. Itu kan butuh model. Nah, saat itu tidak pernah mengenal hal itu. Tidak pernah dijumpai literatur-literatur yang mengarah ke sana. Apalagi, alat-alat yang digunakan sederhana. Karena cara berpikir mereka saat itu juga sederhana seperti halnya orang Jawa saat itu.
Dari situ awalnya kecurigaan kami. Pada akhirnya teori fraktal, chaos, dan social complexity itu menyimpulkan bahwa tidak semua yang kompleks itu berasal dari yang kompleks. Yang simpel juga bisa menghasilkan yang kompleks.
Apa simplisitas yang bisa menghasilkan yang kompleks? Ya itu tadi, sistem konstruksi yang organis, yang menggunakan aturan-aturan sederhana, yakni penempatan batu. Itu hipotesisnya. Kemudian kami uji. Cara mengujinya pertama dengan mengukurnya terlebih dulu.
Kami mengukur secara manual maupun dengan GPS (Global Positioning System). Dari situ kami pindahkan ke komputer. Lalu kami buat modelnya. Kami suruh komputer mencari, apa aturan sederhana yang bisa menghasilkan bangunan serupa itu.
Setelah itu kami mendapatkan conjecture (perkiraan), kemungkinan beginilah cara mereka membangun Borobudur. Dengan pemodelan komputasional cellular automata, ditemukan bahwa candi Borobudur memenuhi aturan dengan indeks 816 untuk celullar automata totalistik 3 dimensi.
Nenek moyang kita diperkirakan membuat Borobudur dengan menumpuk blok batuan sesuai dengan biner '1' pada bilangan desimal 816, yaitu digit ke 5, 6, 9, dan 10. Atau dalam jumlah blok batu: 4, 5, 8, dan 9. Pada prakteknya blok batuan itu bisa saja digantikan dengan bentuk stupa ataupun patung Budha, tergantung dari segi estetikanya.
Dapat dibuktikan pula bahwa Borobudur itu bangunan yang tidak murni dua dimensi, tapi juga tidak murni bangunan tiga dimensi. Oleh karena itu, walaupun merupakan bangunan tiga dimensi, kalau kita perhatikan gambar Borobudur juga bisa ditafsirkan sebagai bangunan dua dimensi.
Dari gambar ini misalnya, seolah-olah stupa di kanan-kiri bisa dianggap sebagai stupa yang lebih kecil dari stupa yang ada di tengah dengan jarak masing-masing yang sama. Padahal pada kondisi aslinya, masing-masing stupa itu ukurannya sama. Hanya saja letaknya agak menjorok di bagian belakang.
Bagaimana dengan rasio proporsi bangunan Candi Borobudur yang 4:6:9?
Rasio 4:6:9 itu temuan dari Pak P. Atmadi dari Universitas Gajah Mada. Waktu itu Borobudur direstorasi oleh UNESCO. Karena puncak Borobudur rusak akibat tertimbun di dalam bukit dan digali, lalu mereka memperkirakan tinggi Borobudur.
Mereka mempelajari literatur-literatur Buddha. Relief di Borobudur itu ternyata ilustrasi dari salah satu kitab suci Buddha. Dan kitab itu penuh dengan angka-angka. Di situ ada suatu hal yang bisa diinterpretasikan dengan ukuran-ukuran candi mencakup bagian kaki, badan, dan kepala.
Kemudian Pak Atmadi berhipotesis bahwa Borobudur mengadopsi rasio 4:6:9, yang ternyata dipenuhi oleh postur candi secara vertikal maupun horisontal. Nah, rasio itu kemudian itu kami cek juga ke stupa, maupun stupika (stupa yang kecil). Dan ternyata memang benar semuanya memenuhi aturan 4:6:9. Jadi, kami mengamini temuan dari Pak Atmadi, dan kami simulasikan dengan komputer.
Lalu, bagaimana Anda bisa menyimpulkan bahwa batik itu juga merupakan sebuah fraktal?
Penemuan batik sebagai fraktal kami lakukan sebelum Borobudur. Saya seringkali terlibat diskusi-diskusi serius dengan banyak orang. Suatu saat saya sempat berdiskusi dengan seorang seniman. Ternyata, gambar di salah satu slide presentasi yang dia miliki, mirip dengan bentuk-bentuk pola geometri yang kami pelajari, yakni bentuk-bentuk fraktal.
Gambar itu diperoleh dari candi dan batik. Akhirnya kami melakukan penelitian bersama dengan Pak Bambang Subarnas yang saat itu Dekan Falultas Seni Rupa dan Desain Universitas Pasundan. Akhirnya kami mulai riset dan membuat makalah bareng.
Kami menemukan beberapa bukti matematika pada lukisan Renaissance, kubisme, dan lain-lain. Lalu wacana berkembang ke sini. Kami mulai melihat batik. Tapi, kami tidak bisa ngomong tanpa data. Kami cari data ke mana-mana. Ke Kementerian Budaya dan Pariwisata, Lembaga Arsip Nasional, dan lain-lain. Ternyata, tidak ada yang mengumpulkan motif-motif batik.
Akhirnya, kami mulai mengumpulkan sendiri. Kami datang ke museum-museum batik. Kami ambil foto sehingga koleksi kami ada ratusan. Sekarang, koleksi kami sudah ribuan. Sepertinya tidak berlebihan mengatakan kami memiliki koleksi motif batik Indonesia yang terlengkap. Untuk koleksi batik Jawa, koleksi kami memang mungkin tidak selengkap Keraton Yogyakarta. Tapi, untuk motif batik seluruh Indonesia kami lebih lengkap.
Setelah itu, kami mengecek apakah batik benar-benar fraktal, atau setidaknya, adakah conjecture (perkiraan) yang benar bahwa batik adalah fraktal.
Ternyata, kami kaget sekali, karena hasilnya memang fraktal. Kami sampai mengecek lagi, kami datangi tempat-tempat pembuatan batik. Hasilnya mengejutkan, ternyata benar bahwa mereka (nenek moyang kita) memang telah menerapkan fraktal.
Jadi orang yang menggambar klowongan, orang yang bikin harmonisasi ornamen, orang yang mewarnai, adalah orang yang berbeda-beda. Jadi, hal-hal yang kompleks dari batik tadi sebenarnya berasal dari hal yang simpel tadi.
Harus diakui juga bahwa saya sempat stress selama sekitar delapan bulan, karena kami selama ini tidak mengetahui bahwa ternyata pada batik ada matematikanya orang Indonesia. Orang Indonesia biasanya tak suka dengan matematika.
Kami terus berpikir, sebenarnya di kepala pembuat batik ini apa? Bagaimana dia melihat semesta? Batik itu sebenarnya bukan bahan pakaian, tapi lukisan, kain yang dilukis.
Kita tidak akan menjumpai lukisan abad 14-15 seperti halnya Mona Lisa, yang dibuat orang Jawa. Bagaimana mungkin kita tidak punya artefak dua dimensional untuk mengekspresikan pikiran, padahal tiga dimensi ada, misalnya candi?
Ternyata, mereka memang tidak menggambar sebagaimana orang Barat menggambar secara geometris. Tapi, mereka menggunakan fraktal. Jadi ketika mereka menggambar burung, mereka tidak menggambar fisik burung. Mereka itu suka bercerita. Yang digambar itu justru terbangnya si burung.
Maka digambarlah sawat. Di dalam sawat itu ada self similarity. Ada sayap di dalam sayap di dalam sayap di dalam sayap. Hanya saja, karena canting memiliki keterbatasan resolusi, maka gambar sawat itu punya batas.
Saya curiga, jangan-jangan ada Phytagoras di dalamnya. Phytagoras kan saat itu pernah konflik dengan filsafat Aristotelian. Tapi Pyhytagoras kalah dan kurang berkembang, karena memang ada unsur mistiknya.
Mereka terkagum-kagum dengan bilangan irasional. Ada bilangan akar dua yang hasilnya 1,2222 dan mereka pikir itu bilangan Tuhan. Tapi, orang Yunani itu tidak terlalu suka dengan hal-hal semacam itu. Itu yang membuat kami sempat jadi stres.
Apa benar dengan menurunkan rumus batik, Anda bisa mengidentifikasi asal genetika dari batik itu, dari Indonesia atau bukan?
Setiap batik punya DNA. Kami membuat pohon DNA berdasarkan koleksi batik yang kami miliki. Seperti halnya DNA manusia, DNA batik bisa dipetakan menggunakan komputasi. Bisa dilihat kekerabatannya.
Misalnya manusia, bisa dicek, oh ternyata dekat dengan simpanse. Perbedaan manusia dengan simpanse cuma sekian persen, tapi jauh dari amuba maupun reptil.
Nah, pada batik kami juga sudah terapkan hal serupa. Kami tentukan dimensi fraktalnya. Kami juga menemukannya secara tidak sengaja. Awalnya iseng saja. Data sudah banyak, kami coba komputasikan semua dimensi yang ada. Sumatera bagaimana, Jambi, Padang, Kalimantan, Papua, dan sebagainya.
Lalu, kami urutkan dimensi fraktalnya. Ternyata, kok mereka berkumpul. Jambi berkumpul, Jawa berkumpul. Tapi, antara Yogyakarta dan Solo berbeda. Dengan Jawa Barat juga beda. Walaupun misalnya mereka punya motif yang mirip-mirip, seperti motif sawat.
Sekilas, sawat di batik Solo, Yogya, dan Garut, itu sama. Tapi ternyata mereka punya karakter dimensi fraktal yang berbeda. Dan itu keras perbedaannya. Jadi ini tidak mengelompok berdasarkan kemiripan motif, tapi dia mengelompok berdasarkan daerah.
Jadi, dengan metoda ini kita bisa mementahkan klaim Malaysia terhadap batik.
Selain batik, apakah produk tekstil tadisional lain di Indonesia juga menerapkan fraktal?
Kami berhipotesis seperti itu, Tapi itu semua kan perlu diuji. Sekarang kami sudah punya peta batik. Selain itu kami juga sudah punya peta lagu tradisional, dan juga peta arsitektur bangunan tradisional di Indonesia. Kami juga akan tambah terus. Nanti kami akan buat peta tentang tarian-tarian tradisional.
Tujuannya adalah, bila nanti sudah punya banyak data, kami jadi bisa punya peta kekerabatan orang Indonesia. Kami bisa melihat kekerabatan orang Toraja dengan orang batak, orang Jawa dengan orang Lombok, itu seperti apa?
Sekarang, masih sedikit sekali yang kita ketahui. Kalau ini kami tambah terus, dia akan semakin detail dan makin bagus. Ini bisa dipetakan secara kognitif, bukan secara geografis. Ini kan penting, untuk implementasi macam-macam kebijakan. Bagaimana cara terbaik untuk menerapkan kebijakan baru kepada publik. Ini akan bisa menajamkan kebijakan yang akan diambil.
Anda pernah melakukan penelitian untuk memetakan anatomi korupsi di Indonesia? Bisa Anda ceritakan tentang penelitian ini?
Iya benar. Jadi, dalam penelitian itu kami definisikan dulu apa itu korupsi. Kemudian, kami bikin modelnya. Kami tumbuhkan sistem korupsi di komputer. Kami tetapkan agen-agen mana yang terlibat dalam sistem korupsi. Kami biarkan mereka berinteraksi, bertransaksi, saling mempengaruhi. Lalu, muncul dinamika korupsi.
Itu menjadi lab kita. Kami bereksperimen, bila parameter-parameter diubah, akan seperti apa hasilnya? Misalnya, kami mencari tahu apa yang terjadi bila semua orang beriman? Bagaimana bila gaji dinaikkan? Apa hasilnya?
Dari eksperimen tadi, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah agar sukses memberantas korupsi?
Kadang-kadang kita bingung dan tidak bisa membedakan kita sekarang tengah berada di domain mana: hukum, ekonomi, budaya? Padahal, korupsi itu murni masalah hukum. Jadi sebaiknya tidak kita campur adukkan.
Contohnya, dari hasil penelitian kami, ternyata ekonomi bisa tumbuh dengan struktur yang korup. Dan ketika Anda menghilangkan masalah korupsinya, boleh jadi malah bisa ambruk ekonominya. Kami pernah melakukan percobaan ini di tahun 2008, dan penelitian di India itu mengutip hasil penelitian kami juga. Hasilnya mirip dengan penelitian kami.
Ada sebuah threshold tertentu, di mana korupsi justru mendorong ekonomi berjalan. Nah, itu kan bahaya hasil penelitian seperti itu. Seram bukan? Pada akhirnya kita harus lokalisasi bahwa korupsi itu masalah hukum. Itu saja.
Tangkaplah koruptor, jangan tarik-tarik itu ke masalah ekonomi, jangan tarik-tarik itu ke ilmu tata negara, atau ke masalah budaya. ini masalah hukum.
Bila ada pendapat, wajarlah dia korupsi karena gajinya kecil, itu salah. Ternyata bila kita naikkan gajinya, ternyata masih korup dia. Karena ini bukan masalah sederhana. Tidak bisa kita mengatasi masalah korupsi ini dengan hanya menaikkan gaji. Kita jadikan parameter semua orang beriman, tapi tetap saja korup.
Begitu pula dengan kebebasan pers. Pada level tertentu, saat kita naikkan tingkat kebebasan pers, mungkin korupsi bisa menurun. Tapi ada threshold tertentu ketika kebebasan pers terus meningkat, ternyata tingkat korupsi kembali naik.
Selain itu, kabarnya Anda juga sempat meneliti kebijakan bail out Bank Century?
Ya. Saat itu kami menghitung apa benar kondisi saat itu memiliki peluang sistemik atau tidak. Kami buat semacam sistem early warning. Ternyata, memang ada peluang sistemik. Kalau tidak di-handle dengan cermat, memang bisa dropped. Bisa ke mana-mana. Bisa merembet ke harga pangan, bahan pokok. Padahal, awalnya cuma sedikit.
Tapi, saya tetap tidak sepakat dengan kebijakan bail out Bank Century ini. Bagi saya itu jahat. Misalnya, seorang komisaris bank kinerjanya bagus, nasabahnya nambah, investasi lancar. Dia dapat bonus.
Tapi ada komisaris, kinerjanya jelek, negatif, bangkrut, tapi kemudian malah di-bail out. Masa dia dapat bonus? Tukang becak saja kalau salah diomel-omelin. Supir taksi saja kalau salah alamat dimaki-maki. Masa bankir gagal, dia malah di-bail-out, dapat angin surga. Tidak adil itu.
Apa benar tim sukses Obama juga menggunakan sistem kompleksitas dalam kampanyenya mereka?
Yang jelas, kemenangan Obama itu adalah kemenangan saintifik. Kemenangan metode. Tim kampanye itu diketuai oleh David Axelrod. Kebetulan saya kenal dia. Waktu dia belum begitu terkenal saya pernah beberapa kali kontak dia. Tapi, sekarang dia susah dihubungi.
Saat Bandung Fe Institute berdiri, ia juga sempat kasih selamat. Yang pasti banyak komunitas ilmuwan di tim kampanye Obama. Ada sosiolog, game theorist, yang kerja di tim Obama. Ada George Lakov, pakar yang menghubungkan antara emosi, neuron, dan politik; dikenal dengan istilah moral politics, dan lain-lain. Mereka banyak dibantu oleh ilmuwan.
Berarti bidang ini juga bisa dimanfaatkan untuk pemilu 2014?
Ada lah yang sedang kami siapkan. Waktu pemilu kemarin, sebenarnya kami juga sudah tahu perkiraan persentase perolehan SBY-Boediono, jauh hari sebelumnya. Saat diumumkan hasil quick count saya langsung diselamati oleh teman saya. Ternyata, benar perkiraannya. Waktu itu saya melihatnya dari data pemilu legislatif, lalu kami petakan siapa saja yang ke SBY.
Buat 2014 kami menyiapkan beberapa metoda yang bisa menelaah lebih jauh nanti. Pemilu itu menarik, karena di situ kita merayakan banyak data.
Kalau digunakan untuk memperkirakan bencana?
Bisa. Bahkan modelnya itu mirip dengan model perkiraan pasar modal. Kami juga sudah beberapa kali diskusi sama teman-teman di kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bencana, Andi Arief. Ada beberapa pekerjaan bareng, terkait gempa bumi. Ini semacam early warning system untuk gempa dengan data-data seismik. Kami baru saja dapat data-data lengkap dari zaman purba.
Sebenarnya apa sih cita-cita Anda di masa kecil sehingga Anda bisa seperti sekarang?
Saat kecil saya tumbuh di Medan. Dari SD hingga SMA. Sejak kecil saya suka matematika dan fisika. Saya mengidolakan Newton dan Darwin. Mereka itu luar biasa, natural born scientists. Dilempar ke manapun mereka, ditelanjangi, dibuang ke jalan, mereka akan tetap jadi seorang scientist.
Sejak kecil saya suka bereksperimen. Waktu SD saya pernah bikin percobaan pendeteksi asam dari bunga-bunga yang ada di halaman. Saya coba, saya tumbuk buahnya, bila asam, dia berubah warna. Terus saya laporkan temuan itu.
Tentang warna saya banyak baca dari buku kimia milik pelajar SMP yang indekos di rumah saya. Jadi, sejak kecil, saya suka membaca buku mereka yang kos, termasuk yang kuliahan. Saya curi-curi bukunya. Kalau tidak mengerti saya tanya ini apa, ini apa? Saya sering dimarahi karena terlalu banyak bertanya ... hehehe.
Akhirnya saya harus mencari ensiklopedia. Untuk membacanya saya harus datang ke perpusatakaan daerah Sumatera Utara yang jauh, jaraknya lebih dari 30-40 km dari rumah. Biasanya saya ke sana naik sepeda. Dulu ensiklopedi kesukaan saya adalah Encyclopedia Americana yang 30 seri.
Apa Obsesi Anda yang saat ini belum terwujud?
Tidak ada. Keinginan saya sederhana. Indonesia ini sebenarnya kaya, tapi semrawut. Saya cuma ingin agar Indonesia ini menjadi makmur, tapi tidak semrawut. Teratur. Itu saja, sih. Tidak ada obsesi lainnya.
Bagi saya menemukan sesuatu itu nikmat. Tidak terbayar itu. Apalagi kalau penemuan itu bisa bermanfaat bagi orang lain. Bagi saya, sains yang baik adalah sains yang musti berguna. Kalau sains tidak berguna, tinggalkan saja.
0 komentar:
Posting Komentar
give your comment here, please do not spam